Jumat, Maret 05, 2010

Menangkal Banjir Jakarta

Koran Tempo - 28 Desember 2007
Tahun 2007 Jakarta kembali diterjang banjir. Banjir yang didominasi air laut pasang (rob) di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, itu disebabkan oleh peristiwa siklus bulan. Hujan yang cukup lebat di laut sebelah utara Jakarta ikut menambah volume air yang menggenangi Jakarta.

Banjir di wilayah Jakarta terjadi karena air pasang dari laut masuk dan mencari tempat yang lebih rendah. Kebetulan sebagian wilayah Jakarta Utara (sekitar 40 persen) secara topografi lebih rendah dari permukaan laut. Tahun ini siklus bulan (lunar cycle) setiap 18,6 tahun merupakan penyebab utama air pasang.

Sifat air pasang ini tidak permanen. Secara umum kejadian air pasang akan mencapai titik maksimum pada pukul 12 siang, yaitu 12 jam sejak gelombang pasang dimulai tengah malam sebelumnya yang bertepatan dengan bulan purnama. Diperkirakan ketinggian air yang menggenangi wilayah Jakarta Utara mencapai 1,2 meter.

Sementara itu, diperkirakan air pasang laut menjelang akhir 2007 akan bertambah tinggi, hingga mencapai 1,5 meter, akibat gelombang laut yang terjadi dengan embusan angin dari Laut Cina Selatan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di wilayah Indonesia lainnya, mulai Sumatera, Jawa, sampai Nusa Tenggara.

Khusus untuk wilayah Jakarta, pergerakan angin akan bertemu pada titik konvergensi di sepanjang daratan Jawa, termasuk Jakarta. Kondisi tersebut sangat berpotensi terjadinya pembentukan awan dan turunnya hujan di wilayah laut serta sebagian daratan Jakarta. Alhasil, ketinggian air bisa lebih besar di wilayah Jakarta akibat tiga fenomena alam tersebut sekaligus (air pasang akibat siklus bulan, gelombang laut akibat embusan angin, serta curah hujan di laut dan sebagian kecil di daratan Jakarta).

Tim Institut Teknologi Bandung telah melakukan simulasi khusus untuk menghitung luas kejadian genangan di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Kejadian air pasang yang terjadi pada Senin lalu di wilayah Jakarta, khususnya Jakarta Utara, telah merendam 25 kilometer persegi atau 3,8 persen dari wilayah Jakarta. Wilayah yang terparah terendam berturut-turut adalah Muara Baru, Muara Angke, dan sekitar Pluit. Kejadian genangan di wilayah Jakarta utara tersebut relatif lebih kecil dibandingkan dengan genangan yang terjadi pada awal Februari 2007.

Tentu dapat dibayangkan apabila volume air hujan dari Bogor, yang dapat mencapai 1.600 meter kubik per detik, masuk ke wilayah Jakarta, dan Jakarta akan kelebihan jumlah air. Diperkirakan potensi kejadian ini akan sangat besar terjadi pada satu bulan mendatang.

Apabila Kanal Banjir Timur dan Kanal Banjir Barat dapat menampung volume aliran air dari Bogor masing-masing 300 meter kubik per detik, masih ada sisa 1.000 meter kubik per detik lagi yang terpaksa ditampung oleh wilayah Jakarta. Tentu saja kejadian ini akan membuat Jakarta selalu berpotensi menjadi wilayah banjir atau genangan.

Kondisi terendamnya Jakarta secara tidak permanen tersebut pada masa mendatang akan terjadi secara permanen akibat dua hal, yakni kenaikan muka laut akibat pemanasan global (dengan laju kenaikan 0,57 sentimeter per tahun) serta penurunan muka tanah Jakarta akibat beban bangunan dan eksploitasi air tanah (dengan laju penurunan 0,80 sentimeter per tahun) di wilayah Jakarta.

Sementara itu, iklim juga berubah. Diprediksi pola curah hujan dari wilayah Bogor bergeser 3-5 persen per tahun memasuki wilayah Jakarta, dan ini dipastikan akan menambah volume air hujan yang langsung memasuki wilayah Jakarta. Hasilnya dapat diprediksi: Jakarta akan terendam secara permanen.

Model penangkalan banjir yang dikembangkan oleh tim ITB pada awal tahun ini memprediksi bahwa paling tidak sekitar 24 persen wilayah Jakarta akan terendam air secara permanen pada 2050. Apabila model tersebut disimulasikan untuk 2100, diperkirakan Monumen Nasional, yang merupakan kebanggaan rakyat Indonesia, akan mulai tergenang pada 2080.

Antisipasi secara struktural dan terencana mesti segera dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun pemerintah pusat. Di masa mendatang, untuk mengatasi banjir permanen akibat kenaikan muka laut tersebut, dianggap lebih pas kalau dilakukan pembangunan dinding tegakan laut (seawall).

Sementara itu, polder atau sumur resapan dapat dibangun di daratan Jakarta. Dibutuhkan dana sekitar US$ 39 miliar untuk pengembangan seawall di sepanjang pantai Jakarta. Walaupun pembangunan seawall jauh lebih mahal dibanding usaha lain, biaya ini jauh lebih rendah ketimbang dampak banjir (0,24 persen).

Usul pembangunan seawall ini dipandang lebih baik ketimbang pembangunan daerah jebakan air pasang (polder). Karena pengembangan polder berpotensi menimbulkan kerugian pada kegiatan masyarakat yang ada di wilayah pengembangan polder.

Kesuksesan pengembangan polder di Belanda 100 tahun yang lalu sangat jauh berbeda dengan kondisi wilayah pantai Jakarta yang sudah berkembang menjadi daerah hunian dan industri serta adanya penurunan muka tanah.

Untuk menangani limpasan air dari wilayah selatan yang memasuki Jakarta, pemerintah DKI Jakarta dapat memanfaatkan limpahan air dari Bogor tersebut menjadi sumber air utama wilayah Jakarta, sehingga lambat laun eksploitasi air tanah dapat dihentikan dalam upaya mengurangi penurunan muka tanah Jakarta.

Jelas sudah, kejadian banjir nonpermanen terjadi setiap tahun di Jakarta Utara. Kejadian yang lebih luas dapat terjadi setiap tahun karena iklim tidak mengenal periode ulang lima tahunan. Implikasi pemanasan global terus menerpa Jakarta dengan kenaikan muka lautnya, ditambah lagi laju pembangunan dan eksploitasi air tanah tidak mudah dihentikan.

Sekarang semua menunggu langkah konkret dari pengambil keputusan untuk secara sadar dan cepat mengurangi beban yang terus menerus ditanggung masyarakat.

Dr Armi Susandi, MT Ketua Program Studi Meteorologi ITB dan Pakar Perubahan Iklim


0 Komentar:

Posting Komentar

Template Design by burhanmandalawangi